Powered by Blogger.
RSS

Redup sudah harapannya


Jalan-jalan di lorong kampung itu masih tepat sama dengan beberapa waktu lalu, masih banyak lobang yang terisi air akibat belum juga ada perbaikan jalan didukung beberapa waktu ini hujan sering turun dengan lebatnya. Berkah hujan yang membuat petani tanah hujan bersorak dengan girangnya. Malam sepertinya sudah semakin larut, dari atas rumah gadang masih saja termenung gadis muda di kursi rotan yang di dudukinya. Tak habis pikir menghabiskan malam hanya membisi. Rabiah nama gadis itu, membuka jendela rumah gadang yang sudah dari sore tadi tertutup, ntah apa yang ingin dilakukannya.

Masih saja enteng dengan segala aktifitasnya, Putra pria gagah yang sangat banyak di gemari oleh gadis kampung sebelah. Tak lah mengapa ia sering jadi bahan pembicaraan untuk yang tua atau pun yang muda. Sudahlah sopan, elok laku pula ditambah rajin mengaji dan sedang bekerja di perusahaan terkenal di ibukota. Siapa yang tidak ingin punya anak seperti itu. Kalau di kampung tak suka duduk di "kadai" karena memang kalau sudah di sana bicaranya sudah lari kemana. Tapi bukan berarti ia orang tak bermasyarakat, ia orang yang sangat bermasyarakat, jika pulang ke kampung ia lah yang lebih dahulu bersilaturrahim ke rumah tetangga, dari kecil sudah di tanamkan oleh orang tua bahwa silaturrahim memperpanjang umur, bukanlah usia yang tambah panjang karena maut tak dapat di ulur atau dipercepat, misal jika kita bersilaturrahim maka apa-apa ilmu yang kita berikan setelah kita meninggal pun tetap teringat sehingga memperjang umur dalam segi yang lain. Pesan orang tua ini lah yang selalu ia ingat dan laksanakan dalam sehariannya.

Suana bising perkotaan membuat banyak pengguna jalan dan fasilitas umum menjadi tak nyaman lagi untuk tinggal di kota, kepadatan penduduk yang sudah di perparah dengan banyaknya tindak kriminal karena tuntunan perekonomian. Begitu juga hal nya di lokasi perusahaan milik Putra. Ia berusaha mengatur segala prosedural perkantoran sebaik mungkin, memberikan waktu untuk mengkaji ilmu agama sekali dalam seminggu untuk karyawan perusahaan agar kelak tak hanya mementingkan urusan duni tetapi juga yakin kalau hidup ini akan mati. Nuansa ramah dan sopan dan religius selalu ia terapkan sehingga hasilnya semuanya berjalan dengan lancar. Bak kata pepatah "roda itu selalu berputar" dalam arti hidup ini selalu bergulir, banyak konflik dan banyak musuh yang membuat kerja perusahaannya agak terganggu. Berawal dari sikap salah seorang karyawan yang tak menginginkan perusahaan ini maju karena hendak membuat perusahaan tanding, itulah yang terjadi di kota besar, semuanya menindas tak ingin orang lain senang. Perlahan perusahaan sudah mulai mundur dan kurang terkontrol lagi.

Tidaklah mengapa untuk sejenak berbagi pengalaman dengan orang-orang yang pernah sukses. Putra menyempatkan diri untuk berkonsultasi, namun apa di daya obsesi yang terlalu tinggi serta tak mampu menguasai nafsu membuat ia lupa bahwa ini ada solusinya. Putra lupa diri hanya sibuk memikirkan perusahaan saja. Mengaji pun sudah jarang ia lakukan, tak lagi sering mengikuti ceramah agama, amalan harian sudah mulai terabaikan. Sampai akhirnya ia lupa bahwa ini ternyata hanyalah jalan untuk menguji dedikasinya sebagai hamba yang beriman. Seperni Nabi Ayyub AS yang awalnya diberikan kekayaan yang melimpah sehingga syetan meminta kepada Allah untuk mencabutnya, sampai Nabi Ayyub AS diberi cobaan akan harta dan penyakit namun ia tetap teguh, ketika istrinya pun menyuruh meminta kepada Allah, Nabi Ayyub AS menjawab "saya malu kepada Allah, baru diberi cobaa seperti ini saja langsung meminta diringankan, sedangkan Allah telah memberinya nikmat yang jauh lebih banyak sebelumnya" itulah pelajaran yang sebenarnya bisa di ambil.

Apalah daya, memang cuma segitu batas kemampuannya, Putra telah hanyut dalam dunianya sehingga semuanya sudah berakhir. Kampung teringat memanggil, rumah gadang yang selalu ia jadikan tempat berbagi dengan kakaknya seorang, Rabiah. Pulang sudah tak berpunya lagi, semua kesopanan dan kegagahannya telah hilang. Hanya sibuk mengurung diri di rumah gadang. Ia hanya hidup tinggal berdua dengan kakaknya. Sudah lelah rasanya Rabiah membujuk. Kini tinggallah dua orang kakak beradik Putra dan Rabiah dalam rumah gadang. Sedang Rabiah hanya sibuk membuka-buka jendela ketika malam telah larut dan putra hanya meratap dalam tangis di kamar depan milik orang tuanya semasa hidup dahulu. Redup sudah harapannya seiring dengan habisnya bakaran lilin sebatang dalam teko kaca ceper di ruang tengah rumah gadang.

Malang sekali nasib dua bersaudara itu, menghabiskan hari-hari tanpa arti mengejar hidup yang tak pasti. Hilang sudah semuanya komitmen dan harapannya hanya tinggal kesedihan tak mampu menahan segala cobaan. Bukankah kita tahu segala penyakit ada obatnya dan segala masalah akan terselesaikan. Sedang bumi akan terus berputar. Bangkit menatap dunia untuk kehidupan yang lebih abadi. Ilmu agamalah yang akan tetap jadi sandaran bukan harta yang akan memperbudak. Selama masih ada jiwa yang bersih selama itu syetan akan tertawa untuk terus menggoda dan selama itu kita akan melakukan perlawanan. Sanggup atau tidak sanggup silangkan kita jawab sendiri. Cerita singkat di atas hanya sebagian dari imajinasi dan komplikasi pikiran saya segelintir, tidaklah mengapa untuk kita jawab. Untuk apa kita berkarya?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: