Sayup-sayup
sebelum subuh, terdengar
suara air yang dihidupkan dengan mesin senio lama, sudah bersarang lumut hijau yang menambah
dingin suasana dini hari menjelang subuh. Tungku penanak nasi
sudah dihidupkan sebagai bekal sehari. Nenek yang sudah lanjut umur, berpagi hari dengan
siraman air wudhu, tepatnya
sudah berumur delapan puluhan. Sedikit meringis kedinginan ketika air wudhu
sampai ke wajah, namun kecintaan pada Zat yang menciptakan tak pernah
menyurutkan langkah tua untuk beribadah. Suami yang
telah dahulu menghadap Sang Pencipta, saat di
pesawat sekembalinya
dari menunaikan haji, ketabahan
terpancar di wajah sang tua, saat tepat disebelahnya suami tercinta
terpekur menghembuskan nafas terakhir.
Azan subuh bergema, saya saat itu
kanak-kanak. Cicit kesayangan yang setia menemaninya tidur, bercerita ketika
malam sudah larut. Banyak kisah beliau ceritakan, menanam
kembang bersama, bahkan berkisah tentang arti hidup. Berbekal
tongkat kecil penopang diri, sang nenek berjalan ke mesjid sebelah rumah, waktu
itulah yang selalu dimanfaatkan nenek untuk mendekatkan diri pada Sang Pemilik umur, karena baginya umur sampai sekarang adalah nikmat yang luar biasa
diberikan Allah. Subuh telah berlalu, segelas susu cair disedu air panas
ditambah beberapa roti. Sambil bercerita kisah kecilnya, pernikahannya, pertualangan
saudagarnya. Hidup
baginya tak suka senang, anak-anak yang telah berhasil beliau didik tak
menyurutkannya dengan hanya menampung tangan dari anaknya, tapi tetap gigih
berusaha.
Kisah perjalanan keturunannya, beliau
berkisah berasal dari satu rumah "gadang" yang
kemudian bersuami beranak pinak, menyambung hidup dari peluh keringat itu sudah
biasa. Saya ketika itu masih berumur tujuh tahun sudah diajari bagaimana
berusaha, tak bermalas-malasan. Bagaimana beliau mengajarkan arti cinta
pada sesama, bagaimana beliau mengajarkan arti komitmen. Saya masih ingat,
ketika itu beliau bercita-cita ke Mekkah dan mulai dari tekadnya itu,
dikumpulkan sedikit demi sedikit tabungan, sampai beliau wujudkan. Waktu terus
berjalan, beliau
berkisah suatu waktu sambil menangis, bahwa di syurga tak ada orang tua, beliau
mendengar dari ceramah radio sehingga beliau sangat sedih karena tak bisa
kiranya masuk syorga, ternyata disyorga orang tua pun akan menjadi muda, tersusun
gigi palsunya tersenyum. Saya tak
pernah bisa lupa saat beliau setiap pagi dan sore hari mengaji di kursi ruang
tamu depan, dengan bekal kaca mata lama dan Alqur’an besar yang selalu ada
dalam tas kain miliknya. Dibaca dengan lancar , dengan umur yang sudah lanjut
pun, beliau setiap harinya mengaji satu juz. Masih jelas
baginya huruf per huruf, masih jelas baginya tempat keluar huruf, namun mungkin
yang agak keliru hanyalah huruf “fa” yang selalu beliau baca dengan “pa”.
Saya di berikan ranji cinta pada Mu,
arti cinta yang beliau berikan terkenang sampai sekarang, walau beliau telah
tiada, namun cintanya masih sama.
Sampai di akhir hayatnya pun, saya masih setia.Memotong kuku kakinya yang
sudah mulai panjang. Saya masih ingat sampai sekarang,
bagaimana beliau
memberi saya ranji cintaNya, ranji akan
kekuatan Tuhan, ranji pengorbanan, ranji mengaji yang tak boleh ditinggalkan karena kelak
jadi penerang di kuburan. Sudah
belasan tahun beliau meninggalkan dunia ini, namun ranjinya masih setia saya
simpan dalam hati ini. Mengingat nasehat dan cinta kasihnya.Saya kirimkan do’a
untuk mu, semoga satu juz mu setiap hari selalu jadi penerang kubur mu.
Note: rumah “gadang”
: sebutan rumah untuk di sumatera barat, minang kabau
0 komentar:
Post a Comment