Powered by Blogger.
RSS

Ranji Cinta


Sayup-sayup sebelum subuh terdengar suara air yang dihidupkan dengan mesin senio buatan lama karena sudah bersarang disana sedikit lumut hijau yang menambah dingin suasana dini hari menjelang subuh. Tungku penanak nasi sudah dihidupkan sebagai bekal untuk puasa sunat hari ini. Nenek yang sudah lanjut umur, berpagi hari dengan siraman air wudhu di wajah, mengahadap kepada Sang Pemilik umur, tepatnya kala itu sudah berumur delapan puluhan. Sedikit meringis kedinginan ketika air wudhu sampai ke wajah, namun kecintaan pada Zat yang menciptakan tak pernah menyurutkan langkah tua untuk beribadah, saat tua yang anak jauh di rantau, tapi tidak lah mengapa baginya karena ada sejuta bintang dalam sanubarinya. Suami yang telah dahulu menghadap sang pencipta, saat mesin pesawat udara berjalan sekembalinya dari menunaikan haji, ketabahan yang terpancar di wajah sang tua, saat tepat disebelahnya suami tercinta terpekur menghembuskan nafas terakhir.

Azan subuh sudah bergema, saya yang masih saat itu kanak-kanak. Cicit kesayangan yang setia di hari libur menemaninya tidur, bercerita ketika malam sudah larut, berbagi makanan yang selalu beliau sisihkan walau kadang saya tak suka, namun selalu saya ambil. Termasuk kisah-kisah keturunan beliau ceritakan pada saya, umur kanak-kanak yang masih suka bermain saat itu bagi saya sangat menyenangkan, menanam kembang bersama, bahkan berkisah tentang arti hidup yang bagi saya saat itu sangatlah rumit untuk dipikirkan.

Berbekal tongkat kecil penopang diri, sang nenek berjalan ke mesjid sebelah rumah, saya masih saja suka tidur-tidur an ketika masuk subuh, maklumlah kanak-kanak yang terlambat mengetahui bahwa waktu sebelum subuh itu ada keberkahan disana, waktu itulah yang selalu dimanfaatkan nenek untuk waktu-waktunya mendekatkan diri pada sang pemilik umur, karena baginya umur sampai sekarang sudah nikmat yang luar biasa diberikan Allah, sedangkan teman-teman sebayanya tak bisa saya temukan lagi ketika kana-kanak itu. Subuh telah berlalu, segelas susu cair yang disedu air panas ditambah beberapa roti kering, kami sedu pagi itu, nikmatnya. Sambil bercerita tentang kisah pernikahan nenek, yang saat itu masih sangat kecil bagi saya. Kisah anak-anak nya, kisah pertualangan saudagarnya ke malaka, karena memang beliau adalah seorang saudagar yang bagi saya sangat luar biasa. Hidup yang baginya tak suka senang, anak-anak yang telah berhasil beliau didik tak menyurutkannya dengan hanya menampung tangan dari anaknya, tapi tetap gigih berusaha. Ini bisa saya tafsirkan, beliau seperti itu bukan tak punya, namun memang hobi bekerja.

Kisah perjalanan keturunan yang bagi saya sangat rumit karena keluarga yang sangat besar, beliau berkisah tentang asal dari satu rumah gadang yang kemudian bersuami beranak pinak, menyambung hidup dari peluh keringat itu sudah biasa baginya, menghidupi cucu dengan nilai dan moral. Mengajarkan arti perjuangan apalagi. Saya ketika itu masih berumur kira-kira tujuh tahun sudah diajari bagaimana berusaha, tak bermalas-malasan. Bagaimana beliau mengajarkna saya arti cinta pada sesama, bagaimana beliau mengajarkan saya arti komitmen. Saya masih ingat, ketika itu beliau bercita-cita ke Mekkah, dan mulai dari tekadnya itu, dikumpulkan lah sedikit demi sedikit tabungan, sampai akhirnya beliau wujudkan keinginan itu, sekalipun ada beban berat yang beliau bawa pulang, kehilangan suami tercinta untuk selamanya, tapi tidaklah menyurutkan langkahnya. Waktu terus berjalan, sampai beliau berkisah pada saya suatu waktu sambil menangis, bahwa di syurga tak ada orang tua, beliau mendengar dari ceramah di radio sehingga beliau sangat sedih sekali karena tak bisa kiranya masuk ke syurga, ternyata setelahnya dilajutkan bahwa yang disyorga orang tua pun akan menjadi muda. Saya belum paham apa-apa ketika itu, sehingga hanyalah mendengarkan ceritanya. Kisah-kisah ranji kehidupan yang diberikannya. Ranji cinta pada saya, karena saya tak pernah bisa lupa saat beliau setiap pagi dan sore hari mengaji di kursi ruang tamu depan, dengan bekal kaca mata lama dan Alqur’an besar yang selalu ada dalam tas kain miliknya. Dibaca dengan lancar irama menenangkan jiwa, dengan umur yang sudah lanjut pun, beliau setiap harinya mengaji satu juz dan saat satu bulan, beliau sudah tamatkan satu Al-qur’an, dengan umur setua itu mendekati sembilan puluh tahun. Masih jelas baginya huruf per huruf, masih jelas baginya tempat keluarg huruf, namun mungkin yang agak keliru hanyalah huruf ”fa” yang selalu beliau baca dengan ”pa”. Saya sibuk saja mondar mandir, kadang menyapu, macam-macam lah, membawa sambal kadang-kadang dari rumah, kemudian kami makan bersama. Saya di berikan ranji cinta pada Mu Tuhan, arti cinta yang beliau berikan selalu terkenang sampai sekarang, walau beliau telah tiada, namun cintanya masih sama. Cicit yang selalu bercerita dengan nya. Sampai di akhir hayatnya pun, saya masih setia.Memotong kuku kakinya yang sudah mulai panjang dan saat itu beliau marah karena luka tepat di ujung jarinya karena saya tak hati-hati, saya masih ingat sampai saat sekarang, bagaiman beliau memberi saya ranji cintanya. Ranji akan kekuatan Tuhan, ranji pengorbana, ranji mengaji yang tak boleh ditinggalkan karena kelak jadi penerang di kubur. Saya yang tak kan pernah melupakan ranji cinta pemberian beliau dengan nasehat dan kisah antara kami berdua. Sudah belasan tahun beliau meninggalkan dunia ini, namun ranjinya masih setia saya simpan dalam hati ini. Mengingat nasehat dan cinta kasihnya dalam setiap perjuangan butuh perngorbanan.Saya kirimkan do’a untuk mu, semoga satu juz mu setiap hari selalu jadi penerang kubur mu..amin..dari cicit yang selalu menyimpan ranji cinta mu di hati ini..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: